Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Mahasiswa Baru

Penulis : Ibrahim H. Dukalang Selamat datang, mahasiswa baru, di panggung megah perkenalan lengkap dengan skrip wajib,  intonasi seragam, dan senyum setebal editan video. Katakan siapa namamu,  hobi, asal daerah,  dan jangan lupa bumbu lawak receh agar panitia tertawa sesuai rundown. Jangan khawatir,  ini bukan pemaksaan ini kekompakan.  Bukan intervensi ini kreativitas bersama.  Ah, bahasa panitia memang pandai membungkus tali sebagai pita. Video demi video,  diedit bukan untuk mengenal,  tapi untuk menertawakan atau mengabadikan kepalsuan yang disetujui  ramai-ramai.  Tepuk tangan, video selesai,  dan kita pun berhasil menormalisasikan panggung boneka atas nama keakraban. Ibrahim H. Dukalang,lahir di Gorontalo, 20 Mei 2001. Sejak tahun 2020 menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Hobi Menulis puisi dan membaca puisi. Kenal lebih dekat melalui Instagram @...

Ibu Pertiwi Melahirkan Anak Tiri

Penulis : Ibrahim H. Dukalang Selamat pagi, Ibu. Bagaimana kabar pundi-pundi hari ini? Masihkah ia gemuk di ruang ber-AC, Sementara di luar, nasi bungkus jadi barang mewah? Ibu pintar Menjadikan angka seperti puisi, Tapi sayang, sajak itu tak bisa dimakan Oleh mereka yang mengantri beras bantuan. Kami dengar Ibu bicara tentang “stabilitas”, Kata yang terdengar wangi di podium, Namun di lapak pasar, Harganya seperti layang-layang lepas kendali. Ah, Ibu… Kami tahu, kursi Ibu empuk, Tapi coba duduk sebentar di bangku kayu warung kopi Dan dengar sendiri, Bagaimana rakyat menghitung sisa hidupnya Ibrahim H. Dukalang,lahir di Gorontalo, 20 Mei 2001. Sejak tahun 2020 menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Hobi Menulis puisi dan membaca puisi. Kenal lebih dekat melalui Instagram @1brahimdukalang

Merdeka atau Mati

" MERDEKA ATAU MATI " Hari ini, negeri ini meniup terompet merdeka. sekian tahun katanya sudah bebas, Tapi apakah arti kemerdekaan Bila rakyat masih hidup seperti bajak laut tanpa kapal? Kami bukan Luffy, tapi kami juga lapar. Bukan karena mimpi menjadi raja, Tapi karena nasi tak lagi bisa dibeli dengan harga waras. Pemerintah bilang ini era kebangkitan,  Tapi di jalan, kami hanya bangkit setiap pagi untuk ditindas lagi. Kalau suara kami dianggap pemberontakan, Maka biarlah kami jadi kru bajak laut perlawanan! Bendera ini, bukan hanya simbol petualangan, Tapi lambang perlawanan terhadap tirani berkedok demokrasi. Kami tidak takut badai, karena kami sudah lama tenggelam Dalam janji-janji yang karam bersama kapal bernama “Negara.” Bila keadilan hanya berpihak pada yang duduk di kursi empuk, Maka biarkan kami berdiri. Bila hukum bisa dibeli,Maka kami memilih melawan tanpa senjata cukup dengan suara. Merdeka hari ini... Bukan soal upacara atau pidato panjang. Tapi tentang siapa y...

IBU PERTIWI MELAHIRKAN ANAK TIRI

"IBU PERTIWI MELAHIRKAN ANAK TIRI" Ibu Pertiwi bersalin di tengah ladang tandus, berdarah-darah oleh cangkul yang tak lagi milik petani. Ia mengerang, melahirkan anak tanpa nama, yang nanti tumbuh dengan jas mahal dan suara lantang menyuruh, melarang, memungut dari singgasana kaca. Air susu kasih disambut oleh mulut-mulut beringas, yang pandai berkata "rakyat", namun lupa rasanya lapar. Tanah yang dulu hijau oleh doa-doa nenek moyang kini dilukis dengan peta konsesi dan kontrak asing, seakan ibu ini tak pernah menyusui pejuang sejati. Anak kandungnya yang belajar membaca dengan cahaya pelita, ditegur karena tak punya seragam layak sekolah. Sedang anak tirinya datang dengan mobil berlapis hormat, bicara tentang keadilan sambil menandatangani ketimpangan. Ibu, maafkan kami yang tak cukup lantang membelamu, yang diam saat bajumu dirampas, suaramu dipelintir. Kami menyusun nyanyianmu dalam baris upacara, tapi lupa menanamkan cinta pada batang pohon yang kau titipkan. Ib...