Ibu Pertiwi bersalin di tengah ladang tandus, berdarah-darah oleh cangkul yang tak lagi milik petani. Ia mengerang, melahirkan anak tanpa nama, yang nanti tumbuh dengan jas mahal dan suara lantang menyuruh, melarang, memungut dari singgasana kaca.
Air susu kasih disambut oleh mulut-mulut beringas, yang pandai berkata "rakyat", namun lupa rasanya lapar. Tanah yang dulu hijau oleh doa-doa nenek moyang kini dilukis dengan peta konsesi dan kontrak asing, seakan ibu ini tak pernah menyusui pejuang sejati.
Anak kandungnya yang belajar membaca dengan cahaya pelita, ditegur karena tak punya seragam layak sekolah. Sedang anak tirinya datang dengan mobil berlapis hormat, bicara tentang keadilan sambil menandatangani ketimpangan.
Ibu, maafkan kami yang tak cukup lantang membelamu, yang diam saat bajumu dirampas, suaramu dipelintir. Kami menyusun nyanyianmu dalam baris upacara, tapi lupa menanamkan cinta pada batang pohon yang kau titipkan.
Ibu Pertiwi, engkau tetap suci, meski kami mencemarkan namamu dengan perayaan palsu dan puisi tanpa perbuatan. Kelak, semoga anak kandungmu kembali berdiri, bukan sebagai penjilat tapi sebagai penjaga.
Komentar
Posting Komentar